Sultan Syarif Kasim II
- Details
- Category: Uncategorised
- Created: Saturday, 30 September 2017 17:26
- Published: Monday, 02 October 2017 08:39
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 - meninggal di Rumbai, Pekanbaru, Riau, 23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak Sri Indrapura yang mendapat gelar/penghargaan sebagai Pahlawan Nasional (Keppres No. 109/TK/1998, tanggal 6 November 1998).
Beliau dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan Kemerdekaan Indonesia, serta mendorong raja-raja di Sumatera Timur untuk mendukung dan mengintegrasikan diri dengan Republik Indonesia.
Tidak lama setelah proklamasi beliau menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan menyumbangkan harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk Pemerintah Republik Indonesia, setara dengan 214,5 juta gulden (tahun 2014) atau 120,1 juta USD atau Rp 1,47 trilyun.
Sumber : civitasbook.com, bappeda.siakkab.go.id, muslimtravelergirl.blogspot.com, aisyah1494.blogspot.com, hariemuchty.blogspot.com, www.riaugreen.com, id.wikipedia.org, www.seriau.com, wisataindonesia.biz, www.panoramio.com, www.skyscrapercity.com, www.miswanto.comze.com, www.fotopedia.com, www.mebading.com, dsb.
MASA KECIL
Pewaris tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura ke-12 tersebut lahir di pusat kerajaan ini yaitu Siak Sri Indrapura pada 11 Jumadil Awal 1310 Hijriyah bertepatan dengan 1 Desember 1893.
Pewaris tahta ini bernama Tengku Sulung Sayed Kasim yang kelak populer dipanggil Syarif Kasim II. Ayahandanya adalah sultan ke-11 yang bergelar Sultan Asysyaidis Syarif Hasyim Abdul Djalil Syaifuddin yang memerintah selama 19 tahun yaitu dari tahun 1889 sampai tahun 1908. Ibunya bernama Tengku Yuk, permaisuri kerajaan Siak.
Semasa kecilnya sampai berumur 12 tahun, Sayed Kasim dididik dalam lingkungan istana. Sebagai calon pengganti ayahnya, ia dididik sebagaimana lazimnya adat istiadat raja-raja, meliputi aspek fisik, mental spiritual atau kerohanian dan kecerdasan.
Ayahandanya merupakan seorang sultan yang kuat memegang prinsip Islam, selain itu juga mempunyai pandangan yang luas serta berusaha dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Ayahandanya ingin agar Sayed Kasim yang menggantikannya kelak dapat memimpin kerajaan dengan prinsip Islam dan pengetahuan yang luas. Oleh karena itu, setelah Sayed Kasim berumur 12 tahun (pada tahun 1904) ia dikirim ke Batavia (saat ini Jakarta) pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu.
MASA PENDIDIKAN
Di Batavia (saat ini Jakarta), Sayed Kasim melanjutkan pendidikan tentang hukum Islam dan berguru kepada Sayed Husein Al-Habsyi yang merupakan ulama besar dan juga termasuk orang pergerakan nasional (pada tahun 1908 pergerakan nasional mulai berkembang di Batavia). Selain belajar mengenai hukum Islam ia juga menuntut ilmu hukum dan ketatanegaraan dari Prof. Snouck Hurgronye dari Institute Beck en Volten.
Dalam kehidupannya yang sangat berpengaruh adalah ajaran dari Sayed Husein Al-Habsyi hingga ia menjadi pemeluk agama Islam yang taat dan berjiwa kebangsaan yang tinggi.
Masa penempaan diri selama 11 tahun dari tahun 1904 sampai tahun 1915 di Batavia yang saat itu merupakan Pusat Pergerakan Nasional, telah menanamkan kepada pemuda Sayed Kasim semangat kesatuan, semangat kemerdekaan dan semangat untuk menentang penjajah.
MASA AWAL PEMERINTAHAN DAN PERJUANGAN
Saat Sayed Kasim berumur 16 tahun semasa masih menuntut ilmu di Batavia, ayahandanya Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Djailil Syaifuddin meninggal dunia bertepatan tahun 1908. Oleh karena itu, Sayed Kasim tidak langsung dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahndanya, maka untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh dua orang pejabat yang mewakili raja yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh selama 7 tahun.
Sekembalinya dari Batavia pada 3 Maret 1915, dalam usia 21 tahun Sayed Kasim dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura yang ke-12 dengan gelar Sultan Asysyaidis Syarif Kasim Abdul DJalil Syaifuddin.
Di masa pemerintahan ayahandanya Sultan Sayed Hasyim (Sultan Siak ke-11), dalam melaksanakan pemerintahannya, baginda dibantu oleh Dewan Menteri atau Dewan Kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan.
Dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan. Dewan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku, yaitu Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa.
Kekhawatiran Hindia Belanda timbul karena pewaris kerajaan adalah orang yang berpendidikan dan progresif. Oleh karena itu, sebenarnya pengangkatan Sultan Syarif Kasim II kurang disenangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Datuk Empat Suku yang merupakan Dewan Kerajaan tetap menghendaki Sayed Kasim menjadi sultan. Akibatnya Hindia Belanda mulai mengecilkan arti dan fungsi Dewan Kerajaan dan kemudian akhirnya Dewan Kerajaan dihapuskan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Undang-Undang Kerajaan dan Tata Pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid, yang merupakan pedoman sepuluh provinsi Kerajaan Siak semenjak kepemimpinan ayahandanya tersebut dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda. Sultan Siak tidak menerima perubahan yang diusulkan Hindia Belanda karena hal ini dirasakan bahwa Hindia Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.
Pemaksaan dan tekanan yang terus-menerus dilakukan Hindia Belanda akhirnya membuahkan hasil, sehingga struktur pemerintahan di daerah-daerah dapat diubah Hindia Belanda dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district. Selanjutnya Kerajaan Siak terdiri dari 5 distrik, yaitu Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu dan Distrik Pekanbaru.
Setelah Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi, penghasilan hutan tanah yang disebut "pancung alas" tidak boleh lagi dipungut. Dari hari ke hari tekanan oleh pihak Hindia Belanda semakin terasa dan meresahkan rakyat.
Sultan Syarif Kasim II semakin menentang Hindia Belanda dan memandang perlu membangun kekuatan fisik, karena ancaman Hindia Belanda tidak dapat dielakkan lagi. Sultan membangun kekuatan militer yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.
Sultan Syarif Kasim II menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan Hindia Belanda terhadap rakyatnya dan tetap mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak yang diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.
Sultan Syarif Kasim II dengan tegas juga menolak mengakui Kesultanan Siak sebagai bagian dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, meskipun para sultan pendahulunya telah terikat perjanjian dengan Hindia Belanda, termasuk Perjanjian London 1824.
Perlawanan sultan membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mendatangkan bala bantuan Marsose dari Medan dibawah pimpinan Letnan Leiner.
Dalam menentang penjajahan Hindia Belanda, Sultan Syarif Kasim II memandang kekuatan fisik harus diimbangi dengan kekuatan pembinaan mental dan pendidikan rakyat. Untuk itulah didirikan sekolah bagi anak negeri dan memberikan beasiswa kepada anak-anak yang berbakat di Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Pada tahun 1917, dengan harta yang dimilikinya, Sultan Syarif Kasim II mendirikan Sekolah Agama Islam yang diberi nama Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiah. Pada tahun 1926 Sultan dan Permaisuri Tengku Agung mendirikan sekolah untuk kaum wanita yang diberi nama Latifah School. Pendidikan dimaksud selain untuk menimba pengetahuan agama Islam, juga untuk menanamkan semangat kebangsaan, harga diri dan jiwa patriotisme.
Sekolah-sekolah yang didirikannya menggunakan bahasa pengantar Melayu dan Hindia Belanda. Dengan harta yang dimilikinya, sultan juga mengirimkan anak-anak Siak yang cerdas ke Batavia dan tempat lain untuk menuntut ilmu.
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pecahnya perang Asia Timur Raya pada tahun 1942, tentara Jepang menduduki Singapura dan Semenanjung Melaka. Tentara Jepang sampai di Pekanbaru melalui Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Orang-orang Hindia Belanda gelisah dan mengharapkan perlindungan dari Sultan Syarif Kasim II.
Di tangsi militer Hindia Belanda, tentara Jepang mengumpulkan pembesar Hindia Belanda baik sipil maupun militer. Kemudian mengutus inspektur polisi untuk meminta Sultan Syarif Kasim II datang ke kantor Contileur, namun sultan menolak untuk datang dan tetap berada di Istana Siak.
Kerajaan Siak tetap berjalan seperti biasa, tata pemerintahan tidak berubah, hanya penyebutan nama dan jabatan yang berubah. Seperti District Koofd menjadi Gun Cho dan Onderdistrichoofd menjadi Kun Sho.
Tidak lama sesudah Musyawarah Kaisi (musyawarah raja-raja), Jepang menangkapi beberapa raja di Riau. Di Siak sendiri ditangkap Guncho Wan Entol. Jepang belum berani menangkap Sultan Syarif Kasim II, karena takut terjadi pemberontakan.
Sementara itu terjadi pemberontakan orang Sakai terhadap Jepang di daerah Balai Pungut wilayah Mandau. Pemberontakan ini dipimpin oleh Si Kodai dan beberapa kawan-kawannya, sehingga banyak korban dari pihak tentara Jepang. Jepang mengira pemberontakan ini sebagai reaksi atas penangkapan Datuk Wan Entol. Karena itu, Datuk Wan Entol dibebaskan dan Sultan Syarif Kasim II mengirim Datuk Johar Arifin bersama Muhammad Djamil mengadakan perundingan dan perdamaian dengan Si Kodai, sehingga Si Kodai dapat dibawa ke Siak atas jaminan sultan. Dengan demikian pemberontakan suku Sakai dapat dihentikan.
Pada permulaan penjajahannya, Jepang telah menyusun pemerintahan baru, dan kekuasaan langsung dipegang oleh Jepang. Sultan praktis tidak memegang kekuasaan lagi. Namun pada saat Jepang meminta sultan untuk mengirimkan tenaga Romusha, sultan menolak pengiriman tenaga Romusha yang diminta oleh Jepang. Biarpun secara de yure tidak lagi memegang pemerintahan, namun sultan tetap bertanggung jawab terhadap kerajaan dan rakyatnya.
PUNCAK PERJUANGAN DAN INTEGRASI DENGAN REPUBLIK INDONESIA
Berita kekalahan Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 serta berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersiar di daerah Kesultanan Siak pada akhir Agustus 1945.
Begitu Sultan Syarif Kasim II mendengar berita proklamasi tersebut, semangat pergerakan nasionalnya mencapai puncaknya, ia mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak.
Tahun 1946, ia berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Pada saat itu ia juga menyatakan mendukung perjuangan Republik Indonesia, sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta menyumbangkan harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden kepada Pemerintah Republik Indonesia (setara dengan 214,5 juta gulden atau 120,1 juta USD atau Rp 1,47 trilyun pada tahun 2014).
Sesuai komitmennya dalam mendukung perjuangan Republik Indonesia, Sultan Syarif Kasim II bersama Sultan Serdang juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak dan mengintegrasikan diri dengan Republik Indonesia.
MENINGGAL DUNIA
Di usia 74 tahun, beliau tutup usia di Rumbai, Pekanbaru pada tanggal 23 April 1968, dan dimakamkan di dekat lokasi Kerajaan Siak. Atas dedikasi beliau dalam perjuangan kemerdekaan dan atas semakin berkembangnya wilayah Siak khususnya dan Riau pada umumnya, namanya digunakan sebagai nama bandara udara internasional di Kota Pekanbaru.
Saat ini, Istana Kerajaan Siak masih kokoh berdiri dan digunakan sebagai objek wisata bagi para wisatawan yang ingin mengetahui secara langsung Kerajaan Siak di Kota Siak Sri Indrapura. Demikian juga dengan makam Sultan Syarif Kasim II yang terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Sultan Syarif Kasim II tidak meninggalkan keturunan, baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada 6 November 1998 melalui Kepres Nomor 109/TK/1998, Pemerintah Republik Indonesia memberi gelar kehormatan kepahlawanan yaitu sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia kepada almarhum Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII) disertai anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana.
Di awal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak merupakan Wilayah Kawedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.
ISTANA SIAK SRI INDRAPURA
Istana Siak Sri Indrapura (Istana Asserayah Hasyimiah) di Siak, Provinsi Riau, merupakan kediaman resmi Sultan Siak yang mulai dibangun tahun 1889 dan selesai dibangun tahun 1893. Istana ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Kerajaan Siak sendiri merupakan kerajaan yang berdiri lebih dari dua abad, yaitu tahun 1723 hingga 1946.
Kerajaan Siak awalnya adalah pecahan dari Kerajaan Melayu yaitu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dan Sultan Suleiman yang dibantu oleh Bugis. Sultan Abdul Jalil akhirnya tersingkir dan berpindah tempat yaitu ke Johor, Bintan, Bengkalis, hingga akhirnya ke pedalaman Sungai Siak, di Buantan sekitar 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang. Kerajaan Siak berkali-kali berpindah ibu kota yaitu di Buantan, Mempura, Senapelan, Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi atau Siak Sri Indrapura, Provinsi Riau.
Sultan Syarif Kasim II adalah nama Raja terakhir yang memerintah sebelum menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Daerah kekuasaan Kerajaan Siak sampai ke Rokan, Bintan, Pulau Penyengat di Kepualauan Riau, Juga sampai ke Pesisir Timur Sumatra yang ditandai dengan mengatur jalur pelayaran Sumatra - Kalimantan. Jangkauan terjauh Kerajaan Siak dirasa sampai ke Sambas, Kalimantan Barat.
Sampai sekarang Istana yang berarsitektur Melayu-Arab-Eropa ini masih terpelihara dengan baik. Demikian juga dengan barang-barang peninggalan didalamnya masih terawat dengan baik. Istana tersebut saat ini didatangi banyak wisatawan terutama wisatawan domestik. Setiap ruangan di dalam istana juga dibuka untuk umum dan terawat dalam kondisi baik.
Tidak jauh dari Istana, terdapat Masjid Syahbuddin peninggalan Kerajaan Siak yang masih difungsikan sampai saat ini dan di areal masjid terdapat makam Sultan Syarif Kasim II beserta keluarganya.
Masjid Syahabudin dan Makam Sultan
Masjid Syahabudin Siak merupakan bagian dari sejarah kesultanan Siak Sri Indrapura.
Nama masjid ini berasal dari bahasa Persia dan Arab, yaitu Syah (Persia) yang artinya penguasa, dan Ad-Din (Arab) yang artinya Agama.
Nama Masjid ini juga mencerminkan nama keturunan Sultan Siak yang berasal dari Arab, yaitu suku Syahad.
Keturunan Sultan Siak yang berasal dari arab ini dimulai dari Sultan ke-2 yaitu Sultan Muhammad Ali, yang memerintah Kesultanan Siak pada tahun 1770 - 1779.
Masjid ini dibangun di tahun 1927 dan selesai pada tahun 1935 oleh Sultan Syarif Qasim (Kasim) II, sultan terakhir yang memerintah Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Sultan Syarif Qasim II menginginkan masjid ini dapat dirawat oleh masyarakatnya sendiri, karena sesuatu yang dibangun sendiri akan dapat dirawat dan dijaga sebaik mungkin.
Oleh karena itu pembangunan masjid ini selain menggunakan dana dari Kesultanan Siak, juga menggunakan sumbangan dari masyarakat. Dan pembangunannya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Siak sendiri.
Di areal masjid ini terdapat makam Sultan Syarif Qasim II beserta istrinya yang membangun masjid ini.
Awalnya masjid ini dibangun sejauh 100 meter dari tepi sungai Siak, namun karena proses erosi pada tepian sungai, jaraknya sekarang hanya 25 meter dari sungai Siak.